Pewarta:Yandi.
Subang,Hallo Berita Online.Com-Di sebuah warung kopi sederhana, di pojok jalan yang riuh oleh deru motor ojek online dan suara buruh pabrik yang baru saja pulang kerja, tersaji secangkir kopi pahit dan gorengan hangat. Di situlah tempat curhat rakyat kecil: ruang perjumpaan tanpa protokol, tanpa kursi empuk, tanpa pendingin ruangan. Sebuah ruang di mana kata-kata lahir lebih jujur daripada pidato pejabat.
Di sana, mereka bercerita tentang getirnya hidup. Tentang bagaimana roda ekonomi berputar, tapi selalu meninggalkan mereka di pinggir jalan. Tentang bagaimana bank yang katanya lembaga penyelamat keuangan masyarakat justru menjadi mesin penyedot darah yang mencekik leher rakyat kecil.
Bank: Kapitalisme dalam Wajah Modern.
Kisahnya selalu sama. Bagi mereka yang kaya, akses modal adalah pintu terbuka. Kredit diberikan tanpa banyak tanya, bahkan fasilitas VVIP disiapkan. “Yang bermata sipit, yang berjas necis, cukup dengan tanda tangan, semua lancar,” begitu keluh salah seorang buruh pabrik.
Namun, bagi rakyat kecil, setiap pintu bank adalah tembok. Syarat demi syarat menumpuk: jaminan sertifikat tanah, slip gaji, surat rekomendasi. Semua hal yang tak mereka miliki. Seakan-akan bank hanya ada untuk mereka yang sudah kaya.
Ironinya, keterlambatan satu hari pembayaran cicilan cukup untuk mengundang denda. Belum lagi jika tak sanggup melunasi tepat waktu rumah dan aset diseret ke meja lelang. Bahkan saat seseorang ingin melunasi lebih cepat pun, ia dihantam pinalti. Bank selalu menang, rakyat selalu kalah.
Karl Marx, lebih dari seratus tahun lalu, telah mengingatkan dalam Das Kapital:”Capital is dead labour, which, vampire-like, lives only by sucking living labour, and lives the more, the more labour it sucks.” Modal, kata Marx, tak ubahnya vampir. Ia hidup dengan menghisap tenaga buruh. Semakin dalam ia menghisap, semakin kuat ia bertahan. Dan hari ini, vampir itu bernama perbankan.
Baca Juga:Asiknya Nikmati Sensasi Petik Buah Semangka Langsung dari Kebun di Jembar Farm Ciamis
Syariah: Kapitalisme Berbungkus Agama.
Lebih getir lagi, rakyat menemukan bahwa bank berplat merah, bahkan yang memakai label syariah, tak kalah buasnya. Dengan jargon agama, mereka menjual ilusi: seakan-akan sistemnya lebih manusiawi, lebih adil. Tapi dalam praktiknya, biaya administrasi, margin, dan pinalti hanya berubah nama tanpa berubah watak.

