Baca Juga:Peringatan HUT Bhayangkara Ke-79 Polres Purwakarta: Polri untuk Masyarakat
“Seharusnya PTPN, Paradotama, ataupun Pemprov Jabar menunggu kontrak saya habis hingga September 2025. Kalau mereka tetap memaksa melakukan pembongkaran sekarang, artinya mereka telah melanggar peraturan dan isi perjanjian,” tegasnya.
Haji Eko menyatakan dua syarat agar dirinya bersedia membongkar bangunannya. “Saya siap membongkar bangunan saya sendiri jika, pertama, kontrak saya sudah habis. Kedua, jika memang mendesak, harus ada ganti rugi yang sepadan dengan kerugian yang saya alami,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa pembongkaran paksa sebelum kontrak berakhir dan tanpa adanya ganti rugi yang adil merupakan tindakan yang merugikan sepihak. Pihaknya tidak akan segan untuk menempuh jalur hukum demi mencari keadilan.
Baca Juga:Wakil Wali Kota Tasik Sambut Baik Ide-Ide dari Pepmatas di Kegiatan Silaturahmi
“Kalau dilakukan pembongkaran sementara kontrak belum habis atau tidak ada ganti rugi yang sepadan, artinya ini merugikan satu pihak. Kami akan melakukan gugatan kepada pihak-pihak terkait demi menciptakan keadilan,” pungkas Haji Eko.
Kasus ini menyoroti pentingnya profesionalisme dan penghormatan terhadap hukum perjanjian dalam setiap program pembangunan atau penataan yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun BUMN, agar tidak menimbulkan kerugian dan sengketa di kemudian hari.